SATRADIO ADS

Slider

Udah Nonton Belum ?

Hot News

Technology

Life & style

Games

KOMEDI

My Picture's

Crazy Rich Asians (2018)


Yang saya suka dari orang-orang tajir edan disini adalah mereka tidak suka menyombongkan kekayaan mereka. Ingat bagaimana biasanya kita meringis saat menyaksikan orang yang memamerkan ketajirannya untuk membuat orang terkesan atau, lebih parah lagi, untuk membuat cewek klepek-klepek? *uhuk, Fifty Shades*. Di Crazy Rich Asians, orang-orang ini tahu mereka kaya dan tak butuh orang lain untuk mengkonfirmasi itu. Orang tajir beneran biasanya tak suka mengaku kalau dia kaya. Pelajaran buat gadis-gadis: kalau gebetanmu ngaku-ngaku tajir, kemungkinan besar ia tak setajir itu.

Saya tahu karena saya suka mengaku tajir.

Beda dengan Nick (Henry Golding). Pacarnya yang seorang dosen ekonomi, Rachel (Constance Wu) bahkan boleh jadi mengira Nick sebagai warga kere karena gaya hidupnya yang B aja. Namun kemudian mereka diundang untuk menghadiri pernikahan teman karib Nick di kampung halamannya, Singapura. Sekalian mau ketemu sama keluarga Nick. Saat bermaksud naik pesawat ekonomi, eh bagasi mereka malah diangkut ke pesawat kelas satu. Inilah saat Rachel mengetahui bahwa keluarga Nick ternyata sangat kaya, yang kayanya jauh daripada yang bisa ia bayangkan.

Anda punya satu teman yang anda pikir paling kaya? Rachel punya, namanya Peik Lin (Awkwafina). Namun Peik Lin dan keluarganya yang sangat nyentrik bahkan terbengong saat mengetahui pacar Rachel selama ini adalah Nick yang "itu". Koleksi wardrobe Peik Lin hanyalah sekelas taplak meja bagi keluarga Nick.

Crazy Rich Asians sebetulnya adalah film romantic-comedy (romcom) yang standar, memakai variabel-variabel klise dari genrenya yang memang sudah teruji oleh waktu. Setup-nya sangat familiar, yaitu mengenai sepasang kekasih dari latar belakang sosial berbeda yang harus menghadapi tantangan sosial itu agar bisa bersatu. Meski begitu, film ini mampu untuk terasa segar berkat satu kata penting di judulnya. Bukan "Crazy" atau "Rich" — walau memang sangat menghibur melihat kedua hal tersebut disajikan dengan lebay di layar— melainkan "Asians". Dari Wikipedia, saya baru tahu bahwa film ini adalah film besar Hollywood pertama yang mayoritas digawangi oleh aktor Asia-Amerika sejak The Joy Luck Club seperempat abad yang lalu. Tapi bukan itu poinnya, melainkan fakta akan bagaimana film ini menyuntikkan ciri khas kultur, tradisi, hingga trid karakter yang mampu membuatnya terasa unik tapi juga relatable di saat bersamaan.

Tak percaya? Lihat bagaimana kapabillitas, efektivitas, dan daya jangkau pergosipan emak-emak (yang sudah kita ketahui bersama) saat kabar mengenai Nick yang akan membawa "bakal calon istri" itu bocor di medsos. Semua sudah mendapat gosip tersebut bahkan sebelum Nick dan Rachel kelar makan kue. Sebagaimana yang kita alami sendiri di lingkup sosial kita, semua orang kenal semua orang dan semua orang sepertinya punya hubungan keluarga. Jadi, kita nanti akan berjumpa dengan banyak karakter hingga kita butuh daftar silsilah keluarga Nick agar bisa mengenal semuanya. Mulai dari yang biasa saja sampai yang paling nyentrik. Mulai dari pebisnis yang selalu menjaga citra sampai remaja hedon dengan selera fashion norak.

Meski Nick dan Rachel belum membicarakannya dengan serius, orang-orang sudah berasumsi bahwa Nick akan menjadikan Rachel istri. Tentu saja tak semua menyetujui hal ini. Yang paling getol menentang adalah ibu Nick, Eleanor (Michelle Yeoh) yang menganggap bahwa Rachel tak (((akan pernah))) pantas bagi Nick. Kalau anda kira film ini akan jadi film "Mertua Keji" berikutnya, maka tenang saja; aspek dramatis dari film ini tak pernah terlalu dalam. Yeoh dengan elegan memposisikan karakternya bukan sebagai monster melainkan seorang ibu konservatif yang sangat protektif akan masa depan keluarganya.

Namun khawatir lah soal tersebut menjelang akhir film saja. Sebab di sebagian besar durasi, film ini menyuguhkan apa yang biasanya dilakukan oleh orang tajir, yaitu menghamburkan duit sesensasional mungkin. Kita akan melihat pesta penyambutan super-elit di rumah nenek Nick, lalu pesta lajang yang digelar buat sahabat Nick yang akan membuat selebgram paling hits sekalipun gigit jari, dan terakhir... pesta pernikahan megah yang saya takkan pernah dapat kesempatan untuk menghadirinya seumur hidup. Sutradara Jon M Chu menghadirkan gaya visual yang membuat semuanya tampak glamor, elegan, dan yang paling penting, meyakinkan. AES.THE.TIC.

Meski begitu, ini tak membuat filmnya terkesan sinis. Justru terasa hangat, sebab pembuatnya benar-benar memberi perhatian akan aspek romcom-nya. Latar pesta yang flamboyan tadi menjadi perjalanan karakter tersendiri bagi tokoh utama kita, terutama Rachel. Rachel adalah contoh gadis yang sangat ideal untuk tipikal film seperti ini. Ia bukan bocah yang butuh duit agar hidupnya berubah; sebelum ini, ia sudah mandiri, kompeten, dan terhormat. Penampilan Wu yang sangat ringan membuat kita begitu mudah untuk terikat pada Rachel. Chemistry antara Rachel dan Nick sangat terasa, sehingga walau kita sudah tahu hasil akhirnya bagaimana tapi kita tetap peduli agar hubungan mereka berhasil.

Diadaptasi dari novel laris karya Kevin Kwan yang dirilis di 2013, saya cukup terkesan bagaimana skrip dari Peter Chiarelli & Adele Lim mampu untuk membuat filmnya lumayan fokus. Mereka bahkan bisa memberi resolusi yang memuaskan, walau sebetulnya cerita ini masih akan berlanjut dengan dua film lagi. Yaah, meski tetap terasa ada sedikit hal yang mengganjal, seperti prahara rumah tangga sepupu Nick, Astrid (Gemma Chan) yang entah memang kurang pada tempatnya atau justru kurang dieksplor sehingga tak begitu klik dengan film secara keseluruhan. Kendati demikian, film ini berhasil dengan brilian kalau yang ingin ditujunya memang cuma soal Nick dan Rachel. Anda takkan kecewa; mereka akan membuat penonton menyunggingkan senyum sumringah.

Namun pencapaian paling paripurna dari film ini adalah memberikan kita jenis komedi tertinggi yang pernah ada, yaitu menertawakan diri sendiri. Menyaksikan orang-orang yang hidupnya bermasalah simply karena mereka punya terlalu banyak uang bakal memancing tawa getir ketika kita ingat isi rekening sendiri. Saat kita harus banting tulang kerja keras bagai kuda agar bisa pamer makan sekali seminggu di restoran, orang-orang ini memakai #OOTD yang cukup untuk membayar gaji kita setahun.

Disalin dari http://www.ulasanpilem.com/2018/09/review-crazy-rich-asians.html

Postingan ini adalah contoh postingan untuk para penulis di blog ini yang ingin me-review film yang sudah rilis di bioskop dan sudah ditonton.


Johnny English Strikes Again (2018)


Film ini merupakan film ketiga dari Johnny English, franchise yang jika dijelaskan secara sederhana merupakan anak yang lahir dari perkawinan antara James Bond dan Mister Bean (marilah kita tak membahas bagaimana "cara" perkawinan itu berlangsung seandainya terjadi secara literal—anda takkan kuat). Ini bukan kebetulan belaka, sebab Johnny English juga dimainkan oleh Rowan Atkinson, sang pemeran Mister Bean. Oleh karena itu, tentu saja leluconnya berasal dari tingkah polah si Johnny yang payak dan tak kompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai mata-mata pemerintah Inggris. Sama seperti judulnya, kali ini ia beraksi kembali. 

Kebolehan Atkinson dalam menyajikan komedi fisik dengan gestur dan ekspresinya yang absurd jarang sekali tak membuat senyum tersungging di bibir cantik saya. Salah satunya, saat ia harus menyamar sebagai seorang pramusaji di restoran Prancis yang tentu saja membuatnya harus berdialog kumur-kumur dengan aksen Prancis. Ada pula adegan saat Johnny English dengan sembarangan mendekati sebuah helikopter yang siap lepas landas, tapi untungnya sembari memakai baju zirah sehingga kepalanya selamat dari putaran baling-baling helikopter. Kita tak perlu tahu konteksnya; yang jelas, ini lucu untuk dilihat. 

Tapi yaa cuma itu. Kebanyakan leluconnya sangat gampangan, seolah ditujukan buat anak-anak. Dan huru-hara yang ditimbulkan oleh ketidakkompetenan Johnny English juga sangat predictable. Saat ia bilang bahwa mobilnya tak perlu diisi bensin, apakah mobilnya ini bakal kehabisan bensin di saat-saat kritis? Saat ia bilang bahwa bom mini yang dipakainya cuma bakal menimbulkan suara kecil, apakah ledakan bom tersebut akan terdengar oleh semua orang, termasuk si penjahat? Okesiap. 

Nah, pertanyaan yang logis adalah: kenapa ada yang mau memanggil Johnny untuk kembali beraksi? Karena tak ada pilihan lain dong. Seorang hacker baru saja mengungkap semua nama agen rahasia Inggris yang aktif. Perdana Mentri (Emma Thompson) kewalahan sehingga mau tak mau harus memanggil satu-satunya mantan agen yang masih sehat walafiat. Dan agen tersebut tentunya adalah Johnny English yang sekarang beralih profesi mengajarkan ilmu mata-mata kepada anak-anak SD. 

Johnny kemudian dipasangkan dengan tandem lamanya, Bough (Ben Milller) yang sekarang sudah menikah dengan seorang kapten kapal selam militer. Info tadi mungkin terdengar terlalu detil bagi anda, tapi saya menuliskannya supaya bisa memberitahu anda bahwa Johnny tak percaya ada seorang kapten kapal yang berjenis kelamin wanita. Fungsi Bough bagi plot adalah untuk ngasih tau Johnny sedikit logika, yang pastinya bakal lewat di kuping kanan dan keluar di kuping kiri Johnny, termasuk saat Johnny tak percaya bahwa wanita seksi teman minumnya (Olga Kurylenko) adalah seorang agen Rusia padahal Bough sudah punya lebih dari cukup bukti. 

Saya tak ingin bilang bahwa lelucon film ini sedemikian buruk sampai membuat saya meringis. Tidak seperti itu. Leluconnya lucu, hanya saja sudah sangat usang. Lelucon harusnya terasa spontan, walau sebetulnya dibangun dengan set-up terlebih dahulu. Di film ini, saat diberikan set-up, kita langsung tahu punchline-nya bakal seperti apa. Jadi setiap kali komedi lewat, saya cuma bergumam dengan muka lempeng, "Oh yang barusan komedi ya". Meski begitu, saya yakin bahwa masih ada orang yang belum pernah mendengar lelucon soal Ikang Fawzi. Dan mereka adalah satu-satunya demografi yang sangat saya rekomendasikan menonton film ini.

Disalin dari http://www.ulasanpilem.com/2018/09/review-johnny-english-3.html



Postingan ini adalah contoh postingan untuk para penulis di blog ini yang ingin me-review film yang sudah rilis di bioskop dan sudah ditonton.

Ant-Man and the Wasp (2018)


Jadi, kita sudah tahu bahwa Ant-Man adalah pahlawan yang sederhana. Kekuatan super Ant-Man sebetulnya receh dan menggelikan jika dibandingkan, katakanlah, dengan dewa petir atau bilyuner berkostum robot canggih atau kapten yang digenjot steroid super; ia cuma bisa mengecil dan membesar, itu pun dengan kostum pinjaman dari orang lain. Film terbarunya, Ant-Man and the Wasp juga film yang sederhana; terlalu ringan sehingga nyaris terasa seperti filler dari desain besar Marvel Cinematic Universe (MCU). Setelah kehancuran spektakuler di Avengers: Infinity War, kita memang butuh rehat sejenak. Dan sebelum bencana epik berikutnya datang, kita juga perlu berkenalan karakter-karakter baru yang nanti akan tampil. 

Ant-Man and the Wasp melaksanakan tugasnya tersebut dengan cukup kompeten dan tak terlalu berusaha untuk melakukan hal lain. Plot tak penting-penting amat, chemistry cukup seadanya, villain tak memberikan ancaman berarti, stakes-nya relatif rendah. Alih-alih, ia menggunakan trik sinema paling dasar tapi ampuh untuk menggerakkan plot, yaitu efek spesial dan sebuah MacGuffin. Dan MacGuffin-nya adalah sebuah gedung laboratorium yang bisa dikecilkan seukuran travel bag, yang diperebutkan oleh berbagai pihak sampai akhir film. 

Ah maaf, saya kok langsung bablas. 

Ceritanya, tentu saja, mengambil tempat di jalinan utama hikayat MCU. Setelah peristiwa berantem sesama kawan di Captain America: Civil War, jagoan kita Scott Lang (Paul Rudd) harus menjalani hukuman sebagai tahanan rumah dan pastinya tak boleh lagi menggunakan kostum Ant-Man. Hukumannya tinggal beberapa hari lagi. Sejauh ini, Scott berhasil untuk menjadi HANYA sekadar ayah yang baik bagi anak tunggalnya. Namun, tak ada hal yang berjalan terlalu lancar kalau anda adalah seorang ayah yang baik. 

Masalah dibawa secara tak langsung oleh mentor Scott, Hank Pym (Michael Douglas) dan anaknya, Hope Van Dyne (Evangeline Lilly). Hank percaya bahwa selama ini istrinya, Janet Van Dyne (Michelle Pfeiffer) masih hidup. Seandainya dari film Ant-Man anda tak ingat bahwa Janet —yang juga merupakan pahlawan berjuduk Wasp— menghilang di semesta kuantum bertahun-tahun lalu, maka film ini akan mengingatkan kembali dengan lebih gamblang. Keduanya kemudian membangun portal menuju semesta kuantum yang tak bisa diakses tanpa bantuan Scott. 

Sayangnya, portal ini diinginkan oleh banyak pihak. Yang pertama adalah mafia yang dipimpin Walton Goggins, yang tentu saja punya maksud jahat karena ia diperankan oleh Walton Goggins. Berikutnya, seorang misterius berjuluk Ghost (Hannah John-Kamen) yang punya kekuatan menembus objek apa pun, yang rupanya punya luka mendalam yang disebabkan oleh Hank. Karena satu dan lain hal, ini juga sampai melibatkan partner lama Hank, Bill Foster (Laurence Fishburne). Masih kuat lanjut? Oke. Sementara itu, Scott harus beraksi tanpa sepengetahuan polisi pengawasnya (Randall Park). Untuk itu, Scott harus meminta bantuan kawannya, si cerewet Luis (Michael Pena) . Eh, untuk itu atau untuk yang lain yak? 

Setidaknya sampai akhir paruh pertama, film ini adalah soal eksposisi belaka, dan ada sensasi aneh yang saya rasakan saat karakter dan motif terungkap semua padahal kita baru berada di tengah film. Poin plot ini terkesan seperti dijahit sekenanya, sehingga tak ada karakter baru yang terejawantahkan dengan sip. Namun saat tak lagi terikat dengan eksposisi, film akhirnya bisa menjadi apa yang ia inginkan: film superhero sederhana yang kadar menghiburnya cukup. Kita kemudian dibawa ke cerita rebut-rebutan MacGuffin dimana tak ada yang penting-penting amat selagi ia bergerak dengan gesit. 

Kemampuan mengecil-membesar adalah daya tarik utama buat saya dalam menonton film-film yang menampilkan Ant-Man. Yah harus diakui, ukuran itu ternyata memang penting saudara-saudara. Sutradara Peyton Reed pernah sukses menyajikan beberapa sekuens aksi mengecil-membesar yang asyik dalam film Ant-Man pertama. Kali ini, ia kembali bermain-main secara terampil dengan kemungkinan perubahan skala, baik untuk tujuan aksi atau komedi atau keduanya sekaligus. Meski tak ada yang mampu membuat kita seterkesan seperti saat melihat Ant-Man menunggangi semut, ada cukup sekuens aksi yang seru dalam film ini, diantaranya melibatkan mobil Hot Wheels dan permen Pez Hello Kitty. Ada pula adegan pertarungan keroyokan di dapur yang mengharuskan Wasp berubah ukuran dengan lincah, sekali-sekali mengecil berlari di ujung mata pisau untuk kemudian berakrobat menghajar penjahat. 

Adegan tadi keren juga, sampai kita mungkin luput menyadari bahwa itu seharusnya adalah momen puncak dari pengungkapan bahwa Hope sekarang adalah Wasp. Nah lho, di film sebelumnya Hope belum jadi Wasp kan? Perkenalannya terasa B aja. Evangeline Lilly lumayan berkomitmen dengan perannya, namun ia tak diberi kesempatan untuk berbuat banyak. Film ini berjudul Ant-Man "and" the Wasp, tapi dinamika antara Ant-Man dan Wasp tak begitu menguar kecuali beberapa callback akan hubungan mereka yang sudah ter-establish di film pertama. Saat sendiri-sendiri mereka keren, tapi saat bergabung mereka menjadi jagoan yang bland. 

Meski begitu, film ini masih tetap saja bekerja, saya juga heran. Ant-Man and the Wasp adalah contoh sempurna dari mesin produksi Marvel yang mampu menghasilkan sesuatu yang sangat standar dan forgettable, namun cukup kompeten sampai kita merasa jahat sendiri untuk menyebutnya sebagai film yang jelek. Filmnya lumayan menghibur, walau akhirnya kita tahu bahwa yang akan dibicarakan orang-orang setelah film ini selesai tetaplah Avengers: Infinity War Part 2 (atau apa pun judulnya nanti)

Disalin dari http://www.ulasanpilem.com/2018/07/review-ant-man-and-wasp.html


Postingan ini adalah contoh postingan untuk para penulis di blog ini yang ingin me-review film yang sudah rilis di bioskop dan sudah ditonton.

VENOM (2018)


"Jadi Venom ini jagoan atau penjahat sih?". Yah, dalam Spider-Man 3, makhluk hitam gempal berlidah panjang dan bertaring banyak ini jelas-jelas jahat. Namun film Venom menggambarkannya sebagai makhluk baik-baik yang terkutuk. Ala-ala Dr Jekyll dan Mr Hyde. Atau Hulk. Ia bermaksud menyelamatkan bumi. Tapi juga suka melahap kepala orang. Nah lho. 

Venom memang mahluk buruk rupa yang aneh. Dan film solonya ini sendiri juga buruk dan aneh. Aneh hingga sampai di titik lumayan asyik untuk ditonton dan saya mau tak mau mulai menyukainya. Barangkali ganjil menyebut film tentang alien yang suka membantai manusia dengan sebutan "lucu", tapi memang demikianlah adanya. Sayangnya, Venom tak menggila sepenuhnya. Saya pikir kalau filmnya lebih sampah dari pada ini, saya bakal lebih menyukainya lagi. 

Faktanya, permulaan film seolah ingin menunjukkan bahwa Venom adalah film yang serius. Sebuah pesawat luar angkasa milik perusahaan Life Foundation terdampar di hutan Malaysia. Kargonya berisi beberapa onggokan material alien hidup. Kita kemudian berkenalan dengan Eddie Brock (Tom Hardy), seorang wartawan bergaya rocker yang biasa berkeliling nyari berita dengan sepeda motornya yang keren. Bahan beritanya yang terbaru adalah mewawancarai Carlton Drake (Riz Ahmed), konglomerat pemilik Life Foundation yang mencurigakan.  

Nah, Eddie bukan bukan reporter sembarangan. Ia adalah reporter yang edgy. Jadi alih-alih meliput tentang teknologi mutakhir Life Foundation, ia justru mengkonfrontir Drake soal rumor mengenai perusahaannya yang melakukan eksperimen mematikan menggunakan manusia, khususnya warga miskin. Info ini didapat Eddie dari email pribadi pacarnya, Anne (Michelle Williams). Singkat cerita, ke-edgy-an tersebut membuat Eddie... berubah jadi Venom? Belum ding, Eddie justru dipecat dan diputus pacarnya sekaligus. 

Menceritakan bagaimana Eddie bisa berubah menjadi Venom berarti saya harus merangkum satu jam pertama dari film. Yang jelas, onggokan alien yang diberi nama simbiot ini nanti bakal menyatu dengan tubuh Eddie. Patut diketahui bahwa simbiot bakal mengambil alih tubuh manusia dan pelan-pelan memakan organ dalam, kecuali ia cucok betul sama manusia yang bersangkutan. Dan Eddie adalah pasangan sehidup-semati Venom. Saya tidak bercanda. Secara terpisah, saat mereka tampil sendiri-sendiri adalah karakter yang membosankan. Namun saat bersama, mereka adalah pasangan yang serasi. Mereka bahkan punya satu adegan ciuman yang sangat intim yang bahkan tak mampu disaingi oleh ciuman Tom Hardy dengan Michelle Williams di awal. 

Akan sangat menarik jikalau film ini membahas tragedi sesungguhnya dari Eddie, yaitu soal bagaimana ia berkutat dengan kepribadian keji di tubuhnya. Namun barangkali pembuat film tak punya ide kecuali bagaimana seekor monster hitam yang buas memporak-porandakan kota dan membantai para penjahat korporat dengan kekuatan super dan elastisitas tubuh. Kalau memang begitu, Venom sebetulnya juga terasa nanggung. Soalnya sebagian besar adegan sadisnya tertahan oleh rating "PG-13" (alias "Remaja" kalau di Indonesia). Tak ada darah yang tersembur, dan adegan melahap kepala yang tadi saya bilang? Cuma lewat adegan indikatif. 

Meski demikian, saya tak terlalu banyak kecewa karena aspek terbaik di film ini adalah Tom Hardy dan Venom itu sendiri. Anda tahu, Venom bisa berbicara di kepala Eddie, begitu pula sebaliknya, dan celutukan mereka adalah humor paripurna. Mereka berdebat soal hal receh seperti siapa yang boleh dimakan atau soal betapa hot-nya Michelle Williams. Tom Hardy benar-benar terjun sepenuhnya. Sebuah totalitas, saya yakin, kalau melihat aksennya yang janggal, dialognya yang ganjil, dan bahasa tubuhnya yang lebay. Jelas, film seperti apa yang Hardy sadari sedang ia mainkan berbeda dengan apa yang divisikan oleh sutradara Ruben Fleischer. 

Film ini memang bukan film yang bagus, tapi juga tidak seburuk yang diindikasikan oleh trailernya. Ingat kutipan konyol "kotoran yang ditiup angin" dari salah satu trailernya? Kutipan tersebut ternyata punya penempatan yang pas dalam film. Film ini pantas ditonton berkat kekonyolannya. Struktur plotnya yang berfokus pada hakikat simbiot membuat absennya Spider-Man juga tak mencederai film. Eh tapi, kita juga disajikan bakal dengan pertarungan puncak antara dua simbiot raksasa dalam sebuah sekuens mabok CGI yang sibuk dan memusingkan. Tak berbeda dengan pertarungan besar antara dua Hulk di The Incredible Hulk.

Jadi kesimpulannya VENOM adalah spideman yang baru aja kecemplung got, makanya jadi item :p

Disalin dari http://www.ulasanpilem.com/2018/10/review-venom.html


Postingan ini adalah contoh postingan untuk para penulis di blog ini yang ingin me-review film yang sudah rilis di bioskop dan sudah ditonton.

Saling Jegal dan Pilih-Pilih

Sudah lama tak berkunjung ke blog ini, sekalinya berkunjung ane disentil diputing gan sama admin nya, karena sudah lama tak menelurkan satu posting pun disini. 

Pada masih inget dengan rencana anggota dewan yang mau bangun gedung baru, yang lengkap dengan kolam renang dan segala fasilitasnya? Andai saja gedung itu jadi dibangun, bisa dihitung berapa hotel bintang lima yang akan gulung tikar karena fasilitasnya yang sama bahkan mungkin diatas fasilitas hotel bintang lima. Gedung gak jadi dibangun, jangan sedih kaka..., toilet gedung DPR yang sekarang direnovasi dan menghabiskan biaya 2M. Sebentar, itu renovasi toilet apa buat rumah? Toilet yang direnovasi tepatnya di gedung nusantara satu. Jumlah toilet yang direnovasi adalah 20 buah. Nah lu itung dah tuh budget buat satu toilet berapa? Apaaaa...?? Yoi! 100 juta saja. Satu toilet 100 juta. Sebenarnya di toilet itu ada apa saja sih selain closet dan wastafel? Mungkin mau ditambahin bath tub, sekalian buat mandi anggota dewan. Kan kalo sidang paripurna sampe tengah malem, jadi lupa mandi. Atau jangan-jangan mau bikin "toilet yang mengerti anda". Jadi, ketika beres buang air besar ada yang nyebokin. Tapi nyebokinnya pake garpu. huehehehe, perih-perih dah lu.. Terus, closet-nya mengeluarkan suara, "terimakasih kaka..., selamat datang kembali.."

maket rencana gedung baru DPR



Sekarang giliran KPK yang mau bangun gedung baru. Gedung yang letaknya di daerah Kuningan, Jaksel ini sudah tidak muat menampung pegawaii yang jumlahnya 600 orang. Sedangkan kapasitas gedung hanya 300 orang. Kabarnya, gedung baru KPK ini juga "dipersulit" sama DPR. Semacam balas dendam gitu deh bro, katanya dulu waktu DPR mau bangun gedung baru. KPK juga menjegal agar tidak jadi dibangun. Malahan sekarang ada gerakan donasi "koin untuk gedung baru KPK" yang menurut info terbaru sudah terkumpul 135 juta lebih. Lumayan lah, seharga renovasi satu toilet. haahahahaha...


Gedung KPK



Gak menutup kemungkinan juga sih, proyek gedung baru KPK ini bakalan dikorupsi. Jangan lupa bung! ini Indonesia. Lembaga Agama saja bisa melakukan korupsi, yang jelas-jelas tahu itu perbuatan dilarang agama. Pengadaan Al-Quran saja dananya dikorupsi dan ada penyuapan segala. Ternyata, tersangkanya adalah anggota Banggar (badaan anggaran) DPR *alamaaak, jadi anggota dewan cuma mau korupsi*.

Masih pada inget kan klo Lady Gaga dilarang tampil di Indonesia? Yang katanya Lady Gaga adalah pemuja setan dan penampilannya terlalu erotis dan pornografi. Sekarang klo dia denger berita ini, mungkin dia pasti ketawa geli dan berkata "masih mending gw muja setan daripada lu, duit buat kitab suci dikorupsi". 


Disini anehnya, ormas yang selalu hits dan trending topic itu kok adem ayem aja ya ada berita duit pengadaan Al-Quran dikorupsi. Mungkin pelaku korupsinya gak erotis dan gak mengandung pornografi. Pelakunya mungkin pake sarung dan peci putih juga. *eeeeeaaaaa... hahahaha*